Foto : Ilustrasi
Disitulah pria asal Flores, Nusa Tenggara Timur itu melihat peluang untuk dirinya.
“Saya melihat juga ada peluang untuk saya. Selain mengedukasi anak-anak untuk mandiri dan mencintai lingkungannya. Akhirnya saya juga mengumpulkan sampah-sampah layak jual. Hasilnya cukup lumayan bisa digunakan untuk bayar kuliah,” terang Sulaiman.
Tentangan sempat datang dari sang istri. Apalagi sebagai tenaga honorer, gaji Sulaiman hanya berkisar Rp 1,5 juta perbulan. “Istri sempat protes. Gaji berapa mau kuliah S2, tentunya butuh biaya besar,” tandasnya.
Sulaiman menjelaskan, setiap hari ia menyetor sampah di bank sampah sekolahnya. Sampah-sampah ini dibawa sejak dari rumah atau dikumpulkan di sekitar sekolah.
“Guru-guru yang punya kertas, koran, buku atau sampah layak jual saya kumpulkan,” tuturnya.
Meski jumlahnya tidak menentu namun bila dikira-kira ayah dua anak itu mengaku mampu mengumpulkan sampah sebanyak 5-10 kg dalam sehari.
“Kalau diuangkan sekitar Rp 25-30 ribu, melihat dari jenis sampahnya. Contoh setor air mineral gelas sekilonya seharga Rp 4.500,” terangnya.
Dalam sebulan, Sulaiman juga setidaknya memiliki tabungan sebesar Rp 300 ribu. Tabungan itulah yang sebagian dipergunakan Sulaiman untuk melunasi biaya kuliah S2-nya.
“Saya sudah lunasi biaya satu semester. Semua kaget, karena saya bayar ketika uang hasil mulung sampah sudah banyak. Biaya Rp 5,5 juta untuk satu semester kini sudah lunas,” tuturnya.
Begitu juga dengan teman-teman Sulaiman. Awalnya mereka terinspirasi karena terkejut ketika Sulaiman diketahui mampu kuliah pascasarjana meski hanya menjadi tenaga honorer.
“Sekarang banyak guru ikut menabung dengan mengumpulkan sampah. Awalnya hanya saya, yang saya ajarkan kepada anak-anak,” ujarnya.
“Buat apa malu, tapi kembali kepada diri masing-masing. Sampah ini uang besar menurut saya. Dan ini bisa dilakukan bukan hanya saya, juga oleh orang lain,” tandasnya.